sapaku kepada rembulan bersinar
agar jiwaku terus diterangi
hingga sinarnya menerpa kalbuku
bersamaku semangat mentari
hingga merah warna mukaku
menyala hingga senja mulai pagi
indah menghiasi tuturku
warna warna pelangi yang terbias
sambutku berujung hingga tercapai
sejuk warna birumu menghantarkanku kebatas waktu
hingga terpaut sapa berakhir cerita
sampai malam menghangatkan suasana
Kamis, 24 Juli 2008
Sisa Sisa Budak
terlahir engkau dari rahim
dibesarkan bersama kuda kuda liar
air susumu adalah sisa sisa
kenyangmu karena menahan lapar
sisa sisa budak merangkak
menghalau binatang binatang pemangsa
menghindar dari bisa mulut berbusa
terkapar saat hendak menghindar
tertindas hingga kulitmu mengelupas
menahan perih luka kepalamu
tertahan langkahmu karena gontai
peluhmu mengalir basahi hingga ke tulang
sisa sisa budak merangkak mengais sisa nasi
diantara anjing anjing berdasi
yang menari siap mencuri
dari jiwa budak budak tersisa
dibesarkan bersama kuda kuda liar
air susumu adalah sisa sisa
kenyangmu karena menahan lapar
sisa sisa budak merangkak
menghalau binatang binatang pemangsa
menghindar dari bisa mulut berbusa
terkapar saat hendak menghindar
tertindas hingga kulitmu mengelupas
menahan perih luka kepalamu
tertahan langkahmu karena gontai
peluhmu mengalir basahi hingga ke tulang
sisa sisa budak merangkak mengais sisa nasi
diantara anjing anjing berdasi
yang menari siap mencuri
dari jiwa budak budak tersisa
Kamis, 10 Juli 2008
Tangisan Anak Negeri
Negeriku tercemar mulut serakah berbusa
Berubah warna bagaikan tertepa terik
Paginyapun tak dingin lagi
Tersapu bau mulut para pendusta
Anak negeriku terkapar lapar
Menanti iba yang tlah tiada
Tak ada lagi ramah
Berganti sombong dan amarah
Negeriku menangis
Menatap dosa para pemerkosa
Negeriku menjerit
Melihat si miskin tak berbalut kain
Hendak kemana anak negeri
Tetatp disini namun terus dicaci
Hendak pergi kau tak berbekal secuil roti
Hanya terus menangis tanpa berharap pasti
Negeriku banjir darah
Lukamu penuh nanah
Tiada hendak hati melangkah
Sebab hari esok tak berarah
Berubah warna bagaikan tertepa terik
Paginyapun tak dingin lagi
Tersapu bau mulut para pendusta
Anak negeriku terkapar lapar
Menanti iba yang tlah tiada
Tak ada lagi ramah
Berganti sombong dan amarah
Negeriku menangis
Menatap dosa para pemerkosa
Negeriku menjerit
Melihat si miskin tak berbalut kain
Hendak kemana anak negeri
Tetatp disini namun terus dicaci
Hendak pergi kau tak berbekal secuil roti
Hanya terus menangis tanpa berharap pasti
Negeriku banjir darah
Lukamu penuh nanah
Tiada hendak hati melangkah
Sebab hari esok tak berarah
Damai Untuk Sahabatku
Mentariku bersinar terang
Menemaniku melangkahkan kaki
Melewati pinggiran indah pantaiku
Bersamaku sebuah nyanyian pagi
Bersama aku semangat hidupku
Bak pemburu menangkap rusanya
Hijaunya alam mengiringiku
Tak henti aku harus tertawa
Indah dunia saat aku damai
Melambaikan tangannya semua menyambut aku
Bersama ombak aku terus bersenandung
Tak peduli duri menggores tapak kakiku
Walau tak merdu namun mendayu
Menggetarkan hati yang kan beku
Tak mengijinkan penghuni semak tuk sembunyi
Sebab aku tak ingin mereka mati
Damaiku damai alamku
Damai sahabatku
Damaiku kan membasuh peluhmu
Berganti wangi dari balik semak tersembunyi
Menemaniku melangkahkan kaki
Melewati pinggiran indah pantaiku
Bersamaku sebuah nyanyian pagi
Bersama aku semangat hidupku
Bak pemburu menangkap rusanya
Hijaunya alam mengiringiku
Tak henti aku harus tertawa
Indah dunia saat aku damai
Melambaikan tangannya semua menyambut aku
Bersama ombak aku terus bersenandung
Tak peduli duri menggores tapak kakiku
Walau tak merdu namun mendayu
Menggetarkan hati yang kan beku
Tak mengijinkan penghuni semak tuk sembunyi
Sebab aku tak ingin mereka mati
Damaiku damai alamku
Damai sahabatku
Damaiku kan membasuh peluhmu
Berganti wangi dari balik semak tersembunyi
Ceritaku
Langitpun masih membiru
Dan aku masih tetap mengangkasa
Melebihi angan seorang pujangga
Dan tetap aku terus bercerita
Pelangipun masih berwarna
Melingkar diatas kepalaku yang penuh rindu
Menghadirkan angan selaksa cerita
Membawa mimipi meraih asa
Tatap mataku melayang
Tajam menatap kerikil berserakan
Menghantam karang seribu kerasnya
Aku masih di sini
Bercerita tentang hidup ini
Membawa suka bersama gelisah
Jiwaku yang membara
Mengejar batas yang bersurga
Aku masih di sisni
Yang menanti datangnya kedamaian
Untuk kakiku berpijak sejenak
Untuk kepalaku bersandar sementara
Dan aku masih tetap mengangkasa
Melebihi angan seorang pujangga
Dan tetap aku terus bercerita
Pelangipun masih berwarna
Melingkar diatas kepalaku yang penuh rindu
Menghadirkan angan selaksa cerita
Membawa mimipi meraih asa
Tatap mataku melayang
Tajam menatap kerikil berserakan
Menghantam karang seribu kerasnya
Aku masih di sini
Bercerita tentang hidup ini
Membawa suka bersama gelisah
Jiwaku yang membara
Mengejar batas yang bersurga
Aku masih di sisni
Yang menanti datangnya kedamaian
Untuk kakiku berpijak sejenak
Untuk kepalaku bersandar sementara
Raja Sikuat
Aku bukan siapa siapa
Aku bahkan tak bisa disapa
Kumpulan debu itu aku
Dari serakan tulang aku terbuat
Namun aku berjiwa besar
Angan dan asaku melintasi awang
Terbang bebas rajawali hidupku
Mencengkeram mangsa liarr jariku
Aku semangat
Aku hebat
Lama aku tak bisa disapa
Aku sebut namuku sang Aku
Sebab semangatku hebat dan tanganku kuat
Aku Raja Sikuat
Aku bahkan tak bisa disapa
Kumpulan debu itu aku
Dari serakan tulang aku terbuat
Namun aku berjiwa besar
Angan dan asaku melintasi awang
Terbang bebas rajawali hidupku
Mencengkeram mangsa liarr jariku
Aku semangat
Aku hebat
Lama aku tak bisa disapa
Aku sebut namuku sang Aku
Sebab semangatku hebat dan tanganku kuat
Aku Raja Sikuat
Terpuruk
Hilang di kala aku sedang menemukan
Hidupku yang sebatas garis pelangi
Diantara sesak para pemburu hidup
Gairah nafasku berkurang satu rona
Hilang aku yang hanya berujud tulang
Hangus aku hingga tak bertulang
Terbuai aku di awang tanpa batas
Hancur aku hancurkan aku
Tak lari lagi aku selayaknya pemburu
Tak mengepak lagi sayapku layaknkya elang
Merayap mulai mengais serakan tubuh ini
Mencoba untuk pahami hidup ini
Hidupku yang sebatas garis pelangi
Diantara sesak para pemburu hidup
Gairah nafasku berkurang satu rona
Hilang aku yang hanya berujud tulang
Hangus aku hingga tak bertulang
Terbuai aku di awang tanpa batas
Hancur aku hancurkan aku
Tak lari lagi aku selayaknya pemburu
Tak mengepak lagi sayapku layaknkya elang
Merayap mulai mengais serakan tubuh ini
Mencoba untuk pahami hidup ini
Ketika Aku
menatap terjal kerikil di jalanku
menapakkan kakiku demi sesuap nasia
ku berdiri gontai penuh peluh
tapi tangan tak pernah aku lipat
aku masih aku yang dulu
namun hatiku tlah merah karna dunia
darahku tak hanya mengalir lagi
masih aku manatap awan dan jalan yang berkerikil
tak hanya sampai disini aku harus melangkah
jauh dan masih jauh saat tanganku harus kulipat
menggapai angan aku tetap berjalan
menapakkan kakiku demi sesuap nasia
ku berdiri gontai penuh peluh
tapi tangan tak pernah aku lipat
aku masih aku yang dulu
namun hatiku tlah merah karna dunia
darahku tak hanya mengalir lagi
masih aku manatap awan dan jalan yang berkerikil
tak hanya sampai disini aku harus melangkah
jauh dan masih jauh saat tanganku harus kulipat
menggapai angan aku tetap berjalan
Ayah
Ayah
Maafkan anakmu
Yang tak setegar karang
Mengeluh dan rapuh seperti arang
Ayah
Anak panahmu tlah patah
Tlak patah ujung tombakmu
Tak bersinar lagi air mukaku dan sayu
Ayah
Anakmu sendiri dan tak berhias lagi
Hanya doa nasehatmu dan tongkat perkasamu
Ayah
Kalahkan dunia itu maumu
Maafkan anakmu
Yang tak setegar karang
Mengeluh dan rapuh seperti arang
Ayah
Anak panahmu tlah patah
Tlak patah ujung tombakmu
Tak bersinar lagi air mukaku dan sayu
Ayah
Anakmu sendiri dan tak berhias lagi
Hanya doa nasehatmu dan tongkat perkasamu
Ayah
Kalahkan dunia itu maumu
Langganan:
Komentar (Atom)